
Masyhuri Abdullah, Penasehat hukum Imam Mashuri, terpidana tindak pidana korupsi pengadaan benih jagung hibrida di Propinsi Lampung tahun 2018, berharap Mahkamah Agung (MA) membebaskan kliennya melalui peninjauan kembali (PK) yang diajukan. Ini disampaikannya menjelaskan kesimpulan atas permohonan PK yang diajukan kliennya melalui rilis tanggal 16 September 2022. Perkara PK disidangkan di PN Tanjung Karang dengan nomor perkara No.6/Pid.Sus-TPK/PK/2022/PN.Tjk yang dipimpin ketua majelis Aria Veronica.
Imam Mashuri menyampaikan PK atas putusan Pengadilan tipikor Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor: 39/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Tjk yang memvonisnya hukuman penjara selama 7 tahun. Vonis dijatuhkan karena Imam Mashuri dinyatakan bersalah melakukan korupsi yang merugikan negara sekitar 7 miliar rupiah.
Dalam perkara tersebut Imam Mashuri dianggap telah mengadakan benih jagung hibrida varietas Bima-Uri yang telah kadaluarsa dan tidak sesuai standar. Imam Mashuri selaku pengusaha dianggap bersalah dalam pengadaan benih jagung tersebut bersama-sama dengan terpidana lainnya Ediyanto, mantan Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultural Propinsi Lampung.
Menurut Masyhuri Abdullah, seharusnya kliennya dibebaskan oleh majelis hakim PN Tanjung Karang yang menyidangkan saat itu. Sebab pihak Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian dalam suratnya menyatakan belum ada standar dalam audit kerugian negara atas jagung bersertifikat yang telah ditanam petani. Akibatnya tidak ada standar yang jelas dalam menghitung kerugian negara dalam pengadaan benih jagung tersebut.
Menurutnya perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh akuntan publik Jojo & Partner yang digunakan jaksa tidak memiliki standar. Benih yang dibagikan kepada petani tetap tumbuh dan panen dengan rata-rata hasil 4,5-5 ton per hektar, meski sudah kadaluarsa atau tidak bersertifikat. Sedangkan perhitungan kerugian negara yang dilakukan tidak memperhitungkan hasil panen riil petani.
Masyhuri menjelaskan, surat dari Dirjen Tanaman Pangan Kementan RI tersebut dijadikan novum dalam permohonan PK yang diajukan. Menurutnya jika surat tersebut ada sewaktu persidangan tingkat pertama, hakim dapat memberikan putusan bebas bagi kliennya. Karena perhitungan kerugian negara yang dilakukan tidak ada standarnya. Akibatnya hasil perhitungannya salah dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Menurut Masyhuri, selain karena adanya novum, PK diajukan dengan alasan kekhilafan hakim dalam pertimbangan putusan. Masyhuri menilai hasil audit Jojo & Partner tidak dapat dijadikan jaksa menentukan kerugian negara. Karena yang berwenang menyatakan adanya kerugian negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sedangkan Jojo & Partner melakukan perhitungan kerugian negara tidak atas dasar penugasan dari BPK.
Masyhuri menjelaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016, instansi yang berwenang menyatakan adanya kerugian negara hanya BPK. Sedangkan instansi lain seperti BPKP, inspektorat atau akuntan public hanya boleh menghitung, tidak berwenang menyatakan kerugian negara. Masyhuri menegaskan majelis hakim telah khilaf karena membenarkan perhitungan kerugian negara dari Jojo & Partner dalam pertimbangan putusannya.