
Kewenangan penyidik PNS (PPNS) perpajakan yang diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) diharapkan dapat mengoptimalkan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. Dalam UU HPP, PPNS Ditjen Pajak (DJP) memiliki kewenangan untuk melakukan pemblokiran serta penyitaan atas harta kekayaan milik tersangka tindak pidana perpajakan.
Tujuan penambahan kewenangan tersebut untuk mengamankan harta kekayaan tersangka sejak dini sebagai jaminan pemulihan kerugian pada pendapatan negara sehingga harta kekayaannya tidak hilang, dialihkan kepemilikannya, atau dipindahtangankan.
Untuk melakukan penyitaan, PPNS DJP harus mendapatkan izin dari ketua pengadilan negeri setempat. Dalam keadaan mendesak, PPNS DJP dapat melakukan penyitaan dan melakukan pelaporan secepatnya.
Dalam penjelasan dari Pasal 44 ayat (2) huruf j UU KUP yang telah diubah dengan UU HPP, penyitaan dapat dilakukan terhadap barang bergerak dan tidak bergerak, mulai dari rekening, piutang, hingga surat berharga milik wajib pajak, penanggung pajak, atau pihak lain yang ditetapkan sebagai tersangka. Pihak lain adalah pihak yang turut serta melakukan, menganjurkan, atau membantu tindak pidana di bidang perpajakan.
“Penyitaan dilakukan oleh penyidik dengan ketentuan sesuai dengan hukum acara pidana,” bunyi ayat penjelas dari Pasal 44 ayat (2) huruf j UU KUP yang telah diubah dengan UU HPP.
Dalam melakukan pemblokiran, PPNS DJP melakukan pemblokiran berdasarkan permintaan ke pihak berwenang, seperti kepada bank, kantor pertanahan, dan kantor samsat.