
oleh: Masyhuri Abdullah (Advokat/Ketua LBH NU Lampung Timur)
Perceraian dalam Islam dipandang sebagai pintu darurat bagi hubungan perkawinan yang tidak lagi membahagiakan dan berpotensi mendatangkan bahaya yang lebih besar menimpa salah satu atau keduanya jika perkawinan dipertahankan. Prinsip menghindari terjadinya keburukan (maslahah al mursalah) diutamakan.
Bagi kaum Muslim Indonesia, perceraian diajukan di pengadilan agama sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Perceraian di Pengadilan Agama dapat diajukan oleh suami atau oleh istri. Jika diajukan oleh suami dinamakan cerai talak, sedangkan jika yang mengajukan istri adalah cerai gugat.
Akibat dari perceraian selain memutus hubungan suami istri, juga dapat menimbulkan akibat lainnya. Antara lain pemberian hak-hak istri berupa mut’ah, nafkah iddah, nafkah madliyah, dan nafkah untuk anak. Juga berupa pengaturan mengenai hak-hak kebendaan yang didapatkan selama dalam ikatan perkawinan.
Dalam perceraian karena permohonan talak yang diajukan suami terdapat ketentuan bagi suami agar memberikan hak-hak kepada istrinya yang ditalak berupa mut’ah, nafkah iddah atau nafkah madliyah (nafkah lampau).
Mut’ah maknanya sebagai hadiah pelipur lara bagi perempuan yang diceraikan. Perempuan yang dicerai tentunya akan merasakan kesedihan, oleh karenanya patut untuk diberikan mut’ah sebagai hadiah. Mut’ah yang diberikan dapat berupa barang atau uang.
Sedangkan nafkah perempuan yang ditalak berupa nafkah iddah. Nafkah iddah diberikan selama perempuan menjalani massa iddahnya. Selain nafkah dalam menjalani iddahnya perempuan juga berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak. Dasar pemberian nafkah iddah ini adalah karena bagi perempuan yang ditalak, selama massa iddahnya belum berakhir, mantan suaminya masih dapat melakukan rujuk tanpa perlu akad nikah. Kecuali untuk talak yang ketiga.
Sehingga dengan haknya untuk melakukan rujuk, suami juga masih berkewajiban memberikan nafkah bagi istri yang ditalak. Karena selama menjalani iddahnya perempuan juga dilarang melakukan nikah dengan lelaki lain atau menerima pinangan.
Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam mengatur ketentuan pemberian bagi istri yang ditalak berupa mut’ah, yakni berupa uang atau benda yang layak, kecuali istri dalam keadaan belum digauli (qobla dukhul). Istri juga berhak mendapatkan nafkah, maskan dan kiswah di masa iddah, kecuali talak dijatuhkan dengan alasan istri nusyuz. Selain itu istri juga merhak mendapatkan pelunasan mahar terhutang seluruhnya, dan separuhnya jika qobla dukhul.
Ketentuan adanya hak-hak istri yang ditalak suami juga diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits. Hak istri untuk mendapatkan mut’ah dijelaskan dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 241yakni:
“Dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah diberi mut‘ah menurut cara yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertakwa.”
Juga dalam Al-Baqarah ayat 236:
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya, hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka.”
Serta Al-Ahzab ayat 28:
“katakanlah kepada istri-istrimu, “jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.”
Sedangkan hadits yang mengatur tentang hak istri mendapatkan mut’ah yakni:
“Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa ia berkata, “Setiap orang yang dicerai mendapatkan mut’ah (pemberian karena ditalak) kecuali yang diwajibkan kepadanya mengembalikan mahar dan belum digauli, sebab hitungannya adalah setengah mahar.”
Hak istri yang ditalak untuk mendapatkan nafkah antara lain dijelaskan dalam Surat At-Talaq ayat 6:
Artinya:
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Sedangkan dalam Hadits Rasulullah dijelaskan sebagai berikut:
Artinya:
“Rasulullah SAW bersabda, ‘ Wanita yang ditalak tiga tidak berhak terhadap tempat tinggal dan tidak pula nafkah. Sesungguhnya tempat tinggal dan nafkah itu bagi yang bisa dirujuk.”
Pemberian hak-hak istri dalam cerai talak tersebut menjadi kewenangan hakim yang mengadili perkara atas dasar adanya permintaan istri atau penggunaan hak ex officio hakim. Istri yang diajukan talak, jika hadir dalam persidangan dapat mengajukan tuntutan atas hak-haknya bersamaan dengan jawaban yang diberikan atas permohonan talak yang diajukan. Atas permintaan istri tersebut hakim dalam putusannya dapat mengabulkan permintaan istri tersebut atau menolaknya berdasarkan fakta-fakta persidangan.
Sedangkan jika istri tidak hadir dalam persidangan, atau perkara diputus secara verstek, hakim juga dapat memutus agar suami memberikan mut’ah atau nafkah bagi istri. Meskipun tidak ada permintaan dari istri, dengan kewenangannya hakim dapat memberikan hak-hak istri tersebut. Meskipun dalam hukum acara perdata (Pasal 178 ayat 3 HIR), terdapat ketentuan hakim dilarang memutus apa yang tidak dituntut.
Sebagai contoh, dalam putusan perkara nomor 0671/Pdt.G/2021/PA.Mt tanggal 01 Desember 2021, majelis hakim Pengadilan Agama Metro menjatuhkan putusan mewajibkan suami membayarkan mut’ah, nafkah iddah, maskan dan kiswah, serta hadhanah anak, meskipun istri tidak hadir dalam persidangan (putus verstek).
Dalam perkara cerai talak di Pengadilan Agama, pihak istri atau perempuan dipandang belum sepenuhnya terjamin hak-haknya. Sebelum adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2017, pelaksanaan putusan mengenai pemberian mut’ah atau nafkah bagi istri dilakukan setelah ikrar talak diucapkan suami. Banyak contoh, ketika suami sudah mengucapkan ikrar talak dan mendapatkan akta cerai, pembayaran hak-hak istri tidak dilaksanakan. Akibatnya istri dirugikan karena hak-haknya tidak diterima, sedangkan jika harus mengajukan eksekusi putusan terkendala dengan biaya pelaksanaan eksekusi yang harus dikeluarkan.
Hal ini yang mendasari Mahkamah Agung dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2017, mengatur ketentuan dalam putusan perkara cerai talak, hakim dapat mencantumkan mengenai pelaksanaan pembayaran mut’ah atau nafkah bagi istri dilakukan sebelum ikrar talak dilakukan.
Permasalahan lainnya adalah tidak terjaminnya hak-hak perempuan yang ditalak, ketika perkara diputus tanpa kehadiran istri (verstek). Dalam putusan verstek, mayoritas hakim memberi izin suami mengucapkan talak tanpa memberikan hak-hak istri berupa mut’ah atau nafkah. Pertimbangannya adalah tidak adanya tuntutan atau gugat balik dari istri yang tidak hadir di persidangan. Ketidakhadiran setelah dipanggil secara patut, dianggap tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan tuntutan balik. Istri juga dianggap sudah ridha dijatuhi talak dan tidak meminta hak-haknya.
Padahal bisa saja ketidakhadiran istri tersebut karena lemahnya pemahaman hukum di kalangan perempuan mengenai hak-haknya. Atau bisa juga karena panggilannya tidak sampai, karena ketika tidak bertemu langsung biasanya pihak jurusita pengganti dari pengadilan agama akan menitipkannya kepada aparatur desa. Sedangkan tidak ada jaminan panggilan tersebut selanjutnya diteruskan kepada pihak istri.
Faktor lain tidak diberikannya hak istri dalam putusan secara verstek adalah adanya ketentuan hakim dilarang memutus apa yang tidak diminta. Pasal 149 ayat (1) RBg atau Pasal 178 ayat (3) HIR dijadikan dasar oleh hakim dalam putusan verstek tidak memberikan hak-hak istri.
Fakta ini tentunya menunjukkan istri belum terjamin hak-haknya dalam perkara cerai talak yang diputus verstek. Padahal Mahkamah Agung telah mengeluarkan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Tujuan Perma ini salah satunya adalah untuk menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan.
Perma Nomor 3 Tahun 2017 mendorong hakim supaya ketika mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum agar mempertimbangkan kesetaraan gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis. Juga dapat melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin kesetaraan gender. Serta menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin perlindungan hak-hak perempuan. Terakhir agar hakim mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional terkait kesetaraan gender yang diratifikasi.
Dengan Perma Nomor 3 Tahun 2017 sebenarnya hakim memiliki dasar hukum baru untuk lebih memberikan perlindungan bagi istri dalam putusan talak secara verstek. Perma ini dapat menjadi jalan keluar kendala hukum acara (HIR/ RBg) yang melarang hakim memutus sesuatu yang tidak diminta (ultra petita). Dengan dasar Perma Nomor 3 Tahun 2017 hakim dapat menghukum suami membayar hak istri meskipun hal tersebut tidak diminta istri karena tidak hadir dalam persidangan.
Selain itu sebenarnya sebelum adanya Perma Nomor 3 Tahun 2017, banyak contoh perkara talak verstek yang dalam putusannya menghukum suami membayar hak-hak istri. Hak ex officio hakim menjadi dasar hakim memutuskan tersebut meskipun istri tidak memintanya karena tidak hadir. Pertimbangan hukum lainnya adalah ketentuan Pasal 149 KHI juga mengatur kewajiban suami memberi mut’ah dan nafkah ketika menjatuhkan talak. Selain itu ketentuan dalam nash Al-Qur’an dan Hadits juga telah menguraikan hak-hak istri mendapatkan mut’ah atau nafkah iddah ketika ditalak.
Sehingga ketika MA mengeluarkan Perma Nomor 3 Tahun 2017, semestinya jumlah putusan talak verstek yang memberikan hak-hak istri meningkat dibandingkan sebelumnya. Karena selain ketentuan materil dalam KHI maupun nash Al-Qur’an dan Hadits, hukum formil dalam Perma Nomor 3 Tahun 2017 dapat menjadi dasar hukum tambahan bagi hakim.
Namun kenyataannya sebaliknya, dari penulusuran dokumen putusan cerai talak yang diunggah di website putusan Mahkamah Agung, ternyata tidak terdapat penambahan signifikan. Perkara verstek yang diputus dengan memberi hak-hak istri jumlahnya hamper sama antara sebelum dengan sesudah berlakunya Perma Nomor 3 Tahun 2017.
Dengan demikian permasalahannya adalah perspektif gender yang belum melekat di kalangan hakim pengadilan agama. Hal ini dapat menjadi perhatian bagi Mahkamah Agung.
Selain itu, perkara cerai bagi orang Islam juga merupakan perkara lex specialis. Selain ketentuan udang-undang Negera Indonesia, masih ada ketentuan nash dalam AlQur’an dan Hadits, serta fatwa ulama yang semestinya menjadi rujukan hukum. Sehingga ketika dalam fikih juga mengatur hak-hak perempuan dalam cerai talak, hakim semestinya tidak mengesampingkannya.