Home / Artikel / Pembaruan Hukum Wasiat Wajibah Melalui Yurisprudensi MA: Jalan Keluar Non Muslim Mendapat Bagian Harta Warisan Pewaris Muslim

Pembaruan Hukum Wasiat Wajibah Melalui Yurisprudensi MA: Jalan Keluar Non Muslim Mendapat Bagian Harta Warisan Pewaris Muslim

Oleh: Masyhuri Abdullah (Advokat/Ketua LBH NU Lampung Timur)

Dalam hukum waris Islam diatur bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Hal ini mengandung arti bahwa suami/istri, orang tua, anak yang tidak beragama Islam tidak dapat menjadi ahli waris dari pewaris yang beragama Islam. Selain itu, anak tiri juga tidak termasuk sebagai ahli waris.

Realitanya ada beberapa perkara di mana istri atau anak dari pihak yang meninggal tidak beragama Islam dan pewaris tidak meninggalkan wasiat kepadanya, tetapi pihak-pihak tersebut mengajukan gugatan di Pengadilan Agama untuk tetap dapat mendapatkan bagian dari harta pewaris.

Mahkamah Agung (MA) dalam beberapa putusannya telah memberikan “jalan keluar” bagi orang non muslim yang menggugat harta dari pewaris muslim. Dalam yurisprudensi MA, pemberian bagian bagi non muslim atas harta warisan tidak melalui jalur pembagian sebagai ahli waris, melainkan wasiat wajibah.

Meski demikian wasiat wajibah bagi non muslim tidak diatur secara tegas dalam KHI. Pada dasarnya ketentuan wasiat wajibah dalam Pasal 209 KHI hanya untuk anak angkat atau orang tua angkat. Hal ini tidak menyimpangi ketentuan fiqih mengenai batalnya hak menjadi ahli waris karena sebab murtad atau non muslim.

Para fuqaha menyepakati tiga penghalang mendapatkan warisan yakni sebagai budak, membunuh pewaris, dan perbedaan agama. Perbedaan agama yang menjadi penghalang mendapatkan warisan didasarkan atas hadis Nabi: “Orang muslim tidak bisa wewarisi orang kafir (begitu juga sebaliknya) orang kafir tidak bisa mewarisi orang muslim.”

Putusan MA yang menyimpangi Pasal 209 KHI mengenai wasiat wajibah bagi non muslim antara lain putusan No.368 K/Ag/1999. Dalam putusan ini anak yang pindah agama kedudukannya sama dengan anak lainnya, namun tidak sebagai ahli waris melainkan mendapatkan wasiat wajibah.

Putusan ini memutus sengketa waris dari pasangan suami isteri yang memiliki 6 (enam) orang anak. Salah satu anak perempuan mereka telah berpindah agama ketika orang tuanya meninggal dunia.

Sengketa ahli waris dimintakan salah satu anak laki-laki dari pewaris atas harta yang dimiliki oleh pewaris. Dalam tingkat pertama, salah satu anak perempuan tersebut terhijab untuk mendapatkan harta peninggalan pewaris. Tingkat Banding mementahkan putusan tingkat pertama dengan memberikan wasiat wajibah sebesar 1/3 (sepertiga) bagian anak perempuan kepada anak perempuan yang berpindah agama. Tingkat Kasasi menambahkan hak anak yang berpindah agama dengan wasiat wajibah sebesar anak perempuan lainnya atau kedudukan anak yang berpindah agama tersebut sama dengan anak perempuan lainnya.

Putusan lainnya adalah No. 51 K/Ag/1999 tanggal 29 September 1999. Dalam putusan ini ahli waris yang bukan beragama Islam tetap mendapat bagian dari harta peninggalan Pewaris yang beragama Islam. Pembagiannya dilakukan menggunakan lembaga wasiat wajibah, ditetapkan bagian anak yang bukan beragama Islam mendapat bagian yang sama dengan bagian anak yang beragama Islam sebagai ahli waris.

Selain terhadap anak, pada tahun 2010 yaitu dalam putusan No. 16 K/Ag/2010 tanggal 16 April 2010 Mahkamah Agung juga telah memutus bahwa istri yang berbeda agama (non muslim) yang telah menikah dan menemani pewaris selama 18 tahun pernikahan juga berhak mendapatkan harta waris melalui lembaga wasiat wajibah. Dalam putusan tersebut dipertimbangkan sebagai berikut:

“Bahwa perkawinan pewaris dengan Pemohon Kasasi sudah cukup lama yaitu 18 tahun, berarti cukup lama pula Pemohon Kasasi mengabdikan diri pada pewaris, karena itu walaupun Pemohon Kasasi non muslim layak dan adil untuk memperoleh hak-haknya selaku isteri untuk mendapat bagian dari harta peninggalan berupa wasiat wajibah serta bagian harta bersama sebagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung dan sesuai rasa keadilan”.

Pandangan fikih Yusuf Al-Qardawi menjadi pertimbangannya yakni:
“Bahwa persoalan kedudukan ahli waris non muslim sudah banyak dikaji oleh kalangan ulama diantaranya ulama Yusuf Al Qardhawi, menafsirkan bahwa orang-orang non Islam yang hidup berdampingan dengan damai tidak dapat dikategorikan kafir harbi, demikian halnya Pemohon Kasasi bersama pewaris semasa hidup bergaul secara rukun damai meskipun berbeda keyakinan, karena itu patut dan layak Pemohon Kasasi memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris berupa wasiat wajibah”.

Putusan serupa juga diikuti putusan Nomor 721 K/Ag/ 2015 tanggal 19 November 2015. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan sebagai berikut:
Bahwa Pewaris pada saat meninggal dunia beragama Islam dan hanya meninggalkan satu orang ahli waris yang memeluk agama Islam, yaitu Penggugat (Sumarni binti Sirat/istri), sedang anak-anak Pewaris (Para Tergugat) beragama non Islam sehingga menjadi terhalang sebagai ahli waris. Akan tetapi kepada dua orang anak Pewaris yang beragama non Islam tersebut mendapat/diberikan bagian dengan jalan wasiat wajibah.

Pemberian bagian harta warisan melalui wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim ini kemudian diikuti oleh Pengadilan Agama Yogyakarta pada tahun 22 Desember 2014 di putusannya No. 0042/Pdt.G/2014/PA.Yk yang kemudian diperkuat oleh PengadilanTinggi Agama Agama Yogyakarta dan juga Mahkamah Agung ditingkat kasasi pada tahun 2016 melalui putusan No. 218 K/Ag/2016.

Pembaruan Hukum Wasiat Wajibah Melalui Yurisprudensi

Ketentuan mengenai wasiat wajibah sebenarnya tidak tidak ditemukan dalam fiqih empat madzhab. Pendapat ulama mengenai wasiat wajibah antara lain dikemukakan oleh Abu Muslim Al-Ashfahany yang berpendapat bahwa wasiat diwajibkan untuk golongan-golongan yang tidak mendapatkan harta pusaka. Sementara Ibnu Hazm berpendapat apabila tidak dilakukan wasiat oleh pewaris kepada kerabat yang tidak mendapatkan harta pusaka, maka hakim harus bertindak sebagai pewaris yang memberikan bagian dari harta peninggalan pewaris kepada kerabat yang tidak mendapatkan harta pusaka, dalam bentuk wasiat yang wajib.

Di beberapa negara seperti seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah, wasiat wajibah dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan kewarisan antara pewaris dengan cucu dari anak pewaris yang meninggal terlebih dahulu dibanding pewaris. Dalam undang-undang wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan hanya kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia terlebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan karena sebagai zawil arham atau terhalang oleh ahli waris lain. Ketentuan dalam Undang-undang di Mesir ini yang diadopsi oleh Indonesia dalam pasal 209 KHI.

Dalam sistem hukum Islam di Indonesia, tidak terdapat pengertian definisi formal tentang wasiat wajibah. Menurut mantan hakim agung Bismar Siregar, wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’. Eman Suparman dalam bukunya berpendapat bahwa wasiat wajibah adalah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.

Ketentuan mengenai wasiat wajibah yang diakomodir dalam pasal 209 KHI merupakan bentuk pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Pasal 209 KHI merupakan upaya ahli hukum Islam di Indonesia untuk mengakomodir kebiasaan adopsi anak yang sudah menjadi adat atau kebiasaan di Indonesia.

Melalui ketentuan wasiat wajibah sebagai perluasan dari hukum wasiat, bagi orang tua angkat atau anak angkat, masih dimungkinkan mendapatkan bagian harta warisan dari pewaris meskipun tidak ada hubungan kekeluargaan/darah. Ketentuan ini untuk menyelesaikan sengketa antara anak angkat dengan orang tuanya atau sebaliknya.

Wasiat wajibah dalam Pasal 209 KHI secara tersirat mengandung unsur-unsur:

  1. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.
  2. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi dilakukan oleh negara, melalui putusan pengadilan.
  3. Bagian penerima wasiat wajibah adalah qiyas dari hibah, yakni sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi satu pertiga dari harta peninggalan pewaris.

Hukum wasiat wajibah yang berlaku di Indonesia tersebut kemudian mengalami pembaharuan setelah terbitnya beberapa putusan pengadilan kasasi Mahkamah Agung (MA). Jika dalam Pasal 209 KHI, wasiat wajibah terbatas bagi orang tua angkat atau anak angkat, dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang selanjutnya menjadi yurisprudensi bagi hakim di pengadilan tingkat bawah wasiat wajibah berkembang bagi keluarga yang non muslim, baik istri atau anak, dari pewaris yang beragama Islam.

Pertimbangan hakim agung MA yang memperluas wasiat wajibah bagi keluarga yang non muslim didasarkan atas pendapat pemikir Islam, Yusuf Al Qardhawi, yang menafsirkan bahwa orang-orang non muslim yang hidup berdampingan dengan damai tidak dapat dikategorikan kafir harbi. Pendapat ini dijadikan MA sebagai pertimbangan fiqih sebagai landasan penemuan hukum atas gugatan yang diajukan, dan menjadikan perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk mendapatkan bagian atas harta warisan seseorang yang memiliki hubungan keluarga dengan pewaris yang muslim.

Pemberian wasiat wajibah kepada selain anak angkat dan orang tua angkat telah diterapkan oleh Mahkamah Agung secara konsisten sejak tahun 1998 hingga setidaknya tahun 2016, yaitu kepada anak dan istri yang tidak beragama Islam. Dengan telah konsistennya sikap hukum Mahkamah Agung tersebut, pemberian wasiat wajibah bagi keluarga non muslim telah menjadi yurisprudensi di Mahkamah Agung. Hal ini dapat menjadi rujukan bagi hakim di dalam memutus perkara dengan permasalahan yang sama.

Pelaksanaan dan perkembangan peraturan perundang-undangan dapat terjadi melalui peradilan dengan putusan hakim. Pembaruan hukum melalui putusan hakim termasuk dalam kategori pembaruan hukum dalam arti law reform. Pembaruan substansi hukum dalam konteks ini, khususnya hukum tidak tertulis, dilakukan melalui mekanisme penemuan hukum sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Kepada hakim dan hakim konstitusi diberi kewenangan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat terhadap permasalahan atau persoalan yang belum diatur, dalam arti belum ada pengaturannya dalam hukum tertulis atau dalam hal ditemui perumusan peraturan yang kurang jelas dalam hukum tertulis.

Menurut R Soebekti, yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi atau putusan-putusan Mahkamah Agung sendiri yang tetap. Yurisprudensi mempunyai peranan dan sumbangan yang besar dalam pembangunan hukum nasional. Yurisprudensi penting untuk mendukung pembangunan sistem hukum nasional yang dicita-citakan, yang dapat menjadi jalan keluar untuk: (1) Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, (2) Mengisi kekosongan hukum, (3) Memberikan kepastian hukum, dan (4) Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Yurisprudensi itu dimaksudkan sebagai pengembangan hukum itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan. Konkritnya, melalui yurisprudensi tugas hakim menjadi faktor pengisi kekosongan hukum manakala undang-undang tidak mengatur atau telah ketinggalan jaman.

Walaupun sistem penegakan hukum tidak didasarkan pada sistem precedent, tetapi hakim peradilan umum atau pengadilan tingkat lebih rendah berkewajiban untuk secara sungguh-sungguh mengikuti putusan Mahkamah Agung. Selain itu, para hakim wajib memberikan pertimbangan hukum yang baik dan benar dalam pertimbangan hukum putusannya, baik dari segi ilmu hukum, maupun dari segi yurisprudensi dengan mempertimbangkan putusan hakim yang lebih tinggi dan/atau putusan hakim sebelumnya. Dan apabila hakim ingin menyimpang dari yurisprudensi, maka hakim yang bersangkutan wajib memberi alasan dan pertimbangan hukum adanya perbedaan dalam fakta-fakta dalam perkara yang dihadapinya dibanding dengan fakta-fakta dalam perkara-perkara sebelumnya.

About admin-hukum1926

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

68 − 63 =